Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Satu)

Redaksi
×

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Satu)

Sebarkan artikel ini

Secara persuasif saya mencoba mengajaknya mengerjakan soal-soal yang diberikan pembinanya, karena tampak dia sudah cukup enggan karena lamanya waktu pembinaan. Salah satu kiat saya, mengerjakan bersama dengan cara balapan dengan suasana riang. Akhirnya saya dan Adli berkompetisi mencoba mengerjakan soal-soal olimpiade matematika tingkat SD.

Hasil lomba ternyata bergantian antara kami yang lebih cepat mengerjakan. Oleh karena soal OSN Matematika biarpun hanya tingkat SD, ada pula yang saya sendiri tidak mampu menyelesaikannya. Soal yang kami berdua tidak bisa selesaikan, dipesankan pada Adli untuk bertanya ke guru pembina.

Langkah Adli dalam OSN kali ini berjalan lancar. Dia lolos hingga tingkat nasional. Kemudian bisa memperoleh medali perak OSN tingkat SD bidang Matematika di Semarang.

Bagi saya dan abahnya, yang paling menggembirakan adalah Adli mulai memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik pada kondisi dan suasana baru. Kami sangat tahu tentang kecerdasan yang tinggi terutama numerik darinya. Namun sedikit memperhatikan beberapa soalan psikologis darinya yang terbilang sangat sensitif.

Kisah tentang Ira, anak pertama

Tekanan yang besar tampak dirasakan oleh Ira ketika lolos dan harus mengikuti Pelatihan Nasional tahap 1 untuk olimpiade internasional bidang kimia (ICHO) pada tahun 2010. Dia belum lama duduk di kelas 2 SMA. Materi pelajaran yang dibahas sudah sangat melampaui pelajaran sekolah yang regular. Sebagai contoh, salah satu buku acuanya adalah Kimia Organik Dasar untuk Perguruan Tinggi.

Besarnya tekanan bukan semata karena bahan semacam itu, melainkan teman-teman satu pelatnas kebanyakan sudah berpengalaman. Telah pernah mengikuti pelatnas serupa tahun sebelumnya, dan telah naik kelas 3 SMA.  Ira merasa lebih tertinggal terutama dalam hal pengetahuan awal tentang bahan pelajaran.

Beban lainnya berupa perolehan medali emas OSN tingkat SMA bidang Kimia yang baru diperoleh. Hasil pelatnas ini menjadi semacam pembuktian apakah benar-benar layak menerima medali emas. Pelatnas yang diselenggarakan beberapa tahap merupakan persaingan untuk memperoleh 4 kursi peserta mewakili Indonesia.  

Dari 27 peserta Pelatnas tahap 1 hanya ada 2 anak perempuan. Kebetulan satu-satunya teman perempuan ini sangat pendiam. Padahal Ira pun biasanya malu dengan orang baru, cenderung tidak bicara jika tidak disapa lebih dulu. Akibatnya, hubungan antara keduanya tidak segera dekat.

Padahal, saya sangat faham bahwa Ira butuh teman berbincang untuk mengurangi stress atau tekanan yang dihadapinya. Saya menyadari bahwa dia sedang merasa sendirian, tidak ada teman berbagi. Teman sekolah di SMA asal pun sulit diajak berbincang tentang jenis tekanan ini.

Sejak berangkat sudah saya pesan agar menelpon jika ada masalah apapun, kecil maupun besar. Pembicaraan panjang lewat telpon antar kami menjadi hal rutin selama sebulan pelatnas itu. Dia menceritakan hampir semua keadaan dan masalah yang dihadapi, kadang sampai terisak. Ira pun mudah terpukul jika hasil tesnya kurang baik.

Biasanya saya mendengar sepenuh hati, menjawab jika dia bertanya, memberi masukan untuk sebagian masalahnya. Terutama sekali, saya selalu memberi semangat dan membesarkan hatinya. Tidak sedikitpun memberi target tambahan untuk lolos pelatnas. Saya selalau mengatakan “Yang penting Ira sudah berusaha. Tidak usah dipikirkan hasilnya. Terus saja berusaha dan berdoa. Mohon diberi pencerahan, kekuatan dan kemudahan.”         

Dalam suasana yang cukup penuh tekanan itu Ira menjalani hari-hari Pelatnas tahap 1 sekitar sebulan. Dia berjuang, beruasaha keras membaca dan memahami buku pegangan wajib dari awal, mengejar ketertinggalannya. Ira kemudian lolos seleksi Pelatnas tahap selanjutnya.