Scroll untuk baca artikel
Opini

Perlu Pembacaan Moral Atas Kasus Meninggalnya 6 Laskar FPI

Redaksi
×

Perlu Pembacaan Moral Atas Kasus Meninggalnya 6 Laskar FPI

Sebarkan artikel ini

Cukup mudah mendapatkan alasan kenapa orang membenci (dan mencintai) Front Pembela Islam. Yang sulit adalah memahami sorak gembira sebagian besar orang terhadap kematian 6 anggota FPI. Kenapa mereka bersorak, apa yang merasuki mereka, dan adakah obat penawar ketidakwarasan mereka?

Jelas para pembenci FPI ini dibutakan kebencian berbasis identitas, sehingga tidak segan melihat dunia dengan pikirannya sendiri yang idiosinkratis. Mereka hanya melihat 6 pemuda itu dalam skema-skema abstrak yang sempit, sebagai laskar FPI, bodyguard bos FPI, atau asosiasi yang tidak disukainya.

Dapat dipahami kenapa kebencian berbasis identitas ini begitu membutakan. Orang-orang yang percaya bahwa identitas sebuah komunitas bukan hanya penting, melainkan juga menentukan segalanya seolah secara kodrati merupakan sesuatu yang ‘terberi’, memang sering gagal melihat manusia dalam kerangka normal.

Sehingga, ketika kebenciannya terhadap FPI sudah melikat sampai ke bulu-bulu, dan tiba-tiba berembus berita 6 anggota organisasi besutan Habib Rizieq Shihab itu dihadang maut, para pembenci tidak akan repot bertanya apakah 6 orang itu berlaku baik di lingkungannya atau tidak. Lebih-lebih untuk mengakui bahwa 6 orang itu punya darah sekalian daging yang sama berharganya seperti mereka, seperti manusia pada umumnya.

Di atas itu semua, kebencian juga membutakan fakta bahwa membunuh adalah membunuh, dan penegak hukum yang membunuh tanpa proses hukum adalah kekejian luar biasa.

Mendorong Peran Publik

Dalam keterangan resminya, pihak polisi menyebut bahwa pada malam kejadian, Senin (7/12/2020), anggota Polda Metro Jaya diserang terlebih dahulu oleh laskar FPI. Mobil petugas dipepet dan diserang menggunakan senjata api dan senjata tajam. Dalam konteks prosedural, jika diserang dan terancam, anggota memang perlu membela diri sendiri.

Namun, apa yang terjadi di kilometer 50 tol Cikampek jelas bukan semata urusan prosedur. Pertanyaan sesungguhnya justru terletak pada apakah negara (lewat tangan polisi) terbukti bersalah melakukan extrajudicial killing kepada warganya atau tidak.

Apa yang terjadi malam itu jelas bukanlah semata “proses peraturan”, namun sudah merupakan kejadian antarmanusia atau “proses perilaku”. Maka diperlukan pembacaan moral selugas-lugasnya dalam kasus ini. Dan inilah waktunya publik terlibat dengan dibentuknya tim pencari fakta (TPF) independen.

Sudah banyak organisasi mendorong kepada Mabes Polri, Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman RI untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian itu.

Kasus penembakan laskar FPI ini juga poin penting bagi kita, masyarakat Indonesia, untuk memastikan bahwa alat-alat negara (tentara dan polisi) sudah beres. Karena jika tidak, maka cara kita berhukum belum beranjak ke mana-mana sejak 20 tahun terkahir. Masih sama seperti dulu, di mana hak asasi warga negara dipinggirkan ketika hukum sedang berusaha ditegakkan. []