Konsep sentral yang menempatkan HMI sebagai lembaga pendidikan adalah gagasan tentang kader dan perkaderan.
SEJAK pertama masuk HMI dan setelah berkiprah beberapa waktu di dalamnya, saya menganggap HMI itu sekolah. Persisnya HMI adalah kampus kedua saya.
Banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang saya peroleh di HMI mulai dari soal keorganisasian, wawasan keagamaan, sosial, politik hingga filsafat.
Seperti ada iklim organisasi, begitu masuk HMI dan berinteraksi di dalamnya, keinginan saya untuk belajar meningkat berlipat. Ada antusiasme saya untuk membaca, diskusi, mengikuti kajian dan lain-lain.
Saya mulai mengenal bermacam penulis buku yang sebelumnya tak terlintas sama sekali. Nama penulis baru yang saya kenal seperti Sayyid dan Muhammad Qutub, Fathi Yakan, Hasan Al Bana, Al Maududi hingga Ali Syariati.
Di semester awal itu saya juga mengenal dan tenggelam dalam buku buku Emha Ainun Najib, Hidayat Nataatmadja, Nurcholish Madjid, dan Soedjatmoko. Masih banyak buku buku lain yang tak terbayang saya akan mengenal dan membacanya seperti Freud, Maslow, Marx, dan lain-lain.
Entah strategi atau kebetulan, arus intelektual membuat HMI seperti tidak terjebak dalam kubangan gerakan politik ideologis. Sikap fundametalisme HMI yang berseberangan dengan penguasa Orde Baru kala itu tidak membuat HMI memilih jalan ‘politik’. Radikalisme HMI justru ketika memilih gerakan intelektual.
Tiga isu besar yang terasa musykil dan terkesan menggelikan digeluti mahasiswa saat itu tapi berkembang di HMI adalah epistemologi, rekayasa masa depan, dan peradaban. Tema-tema besar itu mewarnai nuansa organisasi mulai menjadi bagian materi pelatihan formal, penyusunan laporan, TOR Kegiatan, diskusi, dan kajian-kajian.
Demam ‘gerakan intelektual’ juga terlihat pada penamaan sekretariat. Salah satu ‘posko’ yang cukup legendaris bagi kader HMI cabang Purwokerto, tempat saya berkiprah, adalah wisma paradigma. Ada juga wisma Jagad Raya, atau sebagian kader menyebut kampus/universitas Jagad Raya. Penamaan sekretariat ini tentu bagian dari nuansa organisasi yang berkembang masa itu.
Hal menarik di luar isu intelektual dari pengalaman yang saya rasakan, HMI lebih dekat sebagai lembaga pendidikan (sekolah) daripada sekadar organisasi mahasiswa. Di HMI ada pendidikan berjenjang (dasar, menengah, dan tingkat lanjut). Setiap jenjang ada kurikulumnya. Di dalam kurikulum ada materi pokok dan pengembangan.
Setiap penyelenggaraan pendidikan formal berjenjang ini dipandu tidak sembarang orang di HMI. Pemandu pelatihan adalah mereka yang harus sudah lolos kursus kepemanduan. Di HMI kursus kepemanduan itu disebut senior course (SC).
Sebagai bagian pendidikan, di luar pendidikan formal berjenjang, kader HMI punya ruang aktualisasi mengembangkan diri sesuai keminatan. Tak semua kader HMI bergelut pada pemikiran. Di antara mereka ada yang berminat pada keorganisasian, kegiatan pengajian keagamaan, atau kegiatan sosial kemasyarakatan.
Salah satu konsep sentral yang menempatkan HMI sebagai lembaga pendidikan menurut saya adalah gagasan tentang kader dan perkaderan. Konsep kader bagi HMI alamatnya pada individu, bukan pada kelompok.
Perkaderan itu artinya membangun individu tercerahkan melalui serangkaian aktivitas. Tak ada penyeragaman di HMI. Keberadaan HMI sebagai organisasi kader adalah eksisnya individu dalam suatu kelompok. Dalam perkaderan, setiap kader diharapkan mekar kepribadiannya dan setiap kader punya kesempatan mengembangkan diri sesuai minatnya.
Dalam sejarah HMI tahun 60an, bermacam karakter tumbuh berdasarkan keunikan pribadinya. Sebagai contoh, ada sosok Nurcholish Madjid dan Dawam Raharjo yang sejak awal berkutat pada pemikiran.