Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Teori Konspirasi

Redaksi
×

Teori Konspirasi

Sebarkan artikel ini
 “Sejauh saya tahu, covid ini nyata, namun asal usul dan keberadaannya dalam rekayasa (konspirasi).” terang seorang sahabat dalam suatu obrolan.
“Bisa membuktikan?” tanya yang lain.

BARISAN.CO – Tidak jelas juga akhirnya. Ia tak menjelaskan siapa sang konspirator covid-19 itu. Sayang sekali, memang. Isu konspirasi meluas, tapi berhenti tatkala masuk ke pembuktian. Ada satu dua kawan yang menunjuk data, seperti keadaan Amerika Serikat hari ini yang dinyatakan bebas virus.

Juga fakta, virus yang menyebarkan wabah pandemi, bisa terkendali seperti di Singapura. Sementara negara-negara berkembang macam Indonesia, India, masih berjuang keras mengatasi penyebarannya.

Saya tidak di jalur ini, larut dengan teori konspirasi. Bagi saya, teori ini hanya meninabobokan. Semacam obat pengalihperhatian. Acap kali memosisikan pemerintah sebagai pihak yang bersalah. Dianggap tidak becus, tidak tanggap, dan kalah duluan berhadapan dengan para konspirator.

Dari dulu saya tidak begitu meminati teori satu ini. Teori yang menggambarkan adanya tangan-tangan tersembunyi yang hendak merusak negeri ini. Yang memojokkan dan ingin menjatuhkan pemerintahan sah.

Teori yang berangkat dari ketidakpuasan menyaksikan keberhasilan pihak lain, “pihak lawan”. Teori yang hendak menutupi ketidakmampuan kita menangani persoalan, dan lantas melempar kesalahan kepada orang lain.

Bikin sesak saja akhirnya. Namun, saya tak habis pikir, kenapa masih saja ada yang demen melongok orang lain sebagai biang kesalahan? Kenapa tidak menunjuk diri saja? Kenapa selalu menilai orang lain beroleh privilese, kok tidak ke kita?

Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….” (At-Tahrim: 6). Nasihat kitab suci. Dan, terus terang, saya terinspirasi ayat itu, peringatan membereskan diri dan keluarga terlebih dahulu sebelum melangkah keluar. Bahwa sebelum berpikir dan bertindak yang besar, sedianya menyelesaikan yang melekat di kita, walau kerap kali kecil, sepele, serta remeh temeh.

Pelihara diri dan keluarga dulu sebelum memojokkan, atau menganalisa adanya tangan-tangan tersembunyi yang merancang penyebaran virus. Lagian, dalam ayat lain, Tuhan juga menandaskan tak akan mengubah nasib atau keadaan suatu kaum, selagi kaum itu tak mengubah nasibnya.

Bayangkan, perbaiki nasib perbaiki keadaan! Saya menangkap sebuah seruan untuk menengok sisi dalam, bukan yang telah keluar. Apa yang kita mau, apa yang sedang kita pikirkan, dan apa yang sedang kita rasakan. Yang kesemuanya belum berwujud. Sebab, kalau sudah mewujud, sudah jadi kenyataan, dan tak bisa diubah.

Persis tatkala kita mengatakan sesuatu, perkataan tersebut tak mungkin ditarik lagi karena sudah telanjur keluar. Sehingga, kenyataan itu tetap. Sementara, memperbaiki keadaan adalah memperbaiki sikap atas kenyataan. Memperindah cara kita menerima kenyataan.

Betapa virus hari-hari ini memang menggemaskan. Banyak sudah para sahabat yang bertumbangan. Sebab, belum ada obat bagi yang terpapar, selain daya tangkal atau imun dari si terpapar. Ditambah cuaca tak menentu, terik matahari yang tiba-tiba sangat panas, detik kemudian turun hujan lebat. Dan, kesemuanya ini nyata. Ini kenyataan.

Nasihat kitab ke kita, sekali lagi: perbaiki sikap, pelihara diri, lantaran semesta ini perilaku Tuhan. Berhadapan dengan kenyataan, tidak dengan cara beradu pintar dengan Tuhan. Tapi merayu-Nya dengan memperbaiki diri. Meningkatkan daya tahan.

Sehingga diri layak dihuni oleh percikan kuasa-Nya. Diri yang bermuatan pikiran, perasaan, dan kemauan sedianya berdaya imun yang positif, bukan malah keruh lantaran hobi meneropong dan mencari kesalahan diri yang lain.

Nah, apakah kenyataan kini akan berubah dengan mengembangkan teori konspirasi? [Luk]