Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Gus Baha Tantang Mahasiswa

Redaksi
×

Gus Baha Tantang Mahasiswa

Sebarkan artikel ini

Syahid itu hebat, memang, tapi harus dengan syarat atas nama penegakan kalimat Allah. Tidak boleh seseorang berangkat perang dengan niat demi mati syahid. Hal itu, menurut Syekh Nawawi, pertama, orang yang semata demi mati syahid, akan berangkat ke medan perang hanya supaya terbunuh. Kedua, dengan dia mati, berarti pasukan Islam berkurang, sama artinya  menginginkan pasukan Islam itu lemah, hanya lantaran ambisi pribadinya untuk mendapat tiket surga. Jika yang demikian itu melanda seluruh anggota pasukan, agar mati syahid, maka pasukan muslim tidak akan serius memenangkan Islam. Mereka berjihad sekadar ingin cepat mati, dibunuh lawan, lantas langsung masuk surga.

Syekh Nawawi mengkritik itu. Menurut beliau, perang itu harus dengan niatan ingin menang, bukan demi mati syahid. Dengan kemenangan, niscaya kalimat Islam pun tegak di muka bumi. Sementara yang berniat syahid, berarti menuruti nafsu sendiri untuk secepatnya memperoleh surga, itu sama saja tiada peduli akan nasib Islam di kemudian hari.

“Syarat perang itu ya ingin menang, supaya kalimatullah menang, maka jangan berkeinginan kalah. Soal mati syahid itu takdir, tapi jangan ingin mati.” Penjelasan Syekh Nawawi yang dituturkan Gus Baha. “Dan, beliau itu rileks kalau menjelaskan ilmu. Begitu gampang menerangkan Al-Quran.” imbuh Gus Baha.

Juga Syekh Nawawi pernah diuji keulamaannya oleh seratus ulama, dan salah satunya bertanya: “keren mana antara ulama dengan penguasa?”

“Ulama.”

“Tapi faktanya, banyak ulama yang mengantre menghadap raja. Dan, fakta pula tak sekali pun raja mengantre sowan ke ulama!”

Jawab Syekh Nawawi unik, terang Gus Baha: “Ya, karena ulama itu tahu fungsinya uang, sehingga cara mencarinya sampai kayak begitu. Sementara raja-raja itu tak mengerti fungsinya ilmu, sehingga tak pernah sowan ulama.”

Sebuah jawaban cerdas khas Jawa, khas Indonesia. Bahwa apa-apa yang menurut umum “baik” atau “buruk” akan sedemikian gampang ditafsirkan secara logis. Semenjak itulah, Jawa dan atau Indonesia dipandang istimewa oleh ulama-ulama Timur Tengah. Sebab pemahaman ulama Indonesia itu khas. Banyak fatwa ulama dari negeri ini yang dirujuk untuk mengatasi persoalan-persoalan keagamaan. Seperti: bagaimana hukum Mina diperluas?

“Dan, ternyata rujukan yang digunakan, baik yang membolehkan maupun melarang Mina diperluas, adalah fatwa dari syekh-syekh Indonesia, seperti Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, atau Syekh Mahfudz Termas.” papar Gus Baha.

Ada logika khas Jawa, “Gunung yang kelihatan itu, kakinya yang di dalam bumi (yang tak kelihatan) ini jelas lebih luas. Lha permukaan yang kecil itu tetap saja bawahnya lebih luas. Maka bolehlah Mina diperluas.”