Virus Corona masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Terutama bukan hanya daya rusaknya terhadap organ manusia, tetapi juga kemampuannya menyebabkan kematian. Rabu (16/9), jumlah kasus positif COVID-19 bertambah 3.963 kasus. Sehingga total kasus yang terkonfirmasi menjadi 225.030. Namun di sisi lain, keputusan untuk melanjutkan Pilkada di tengah pandemi pada Desember nanti bukan tidak mungkin akan menjadi ledakan kasus yang tidak bisa diabaikan.
Bukan hanya itu saja, Komisi Pemilihan Umum pun tetap memperbolehkan para calon untuk menggelar konser musik dalam rangka kampanye. Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyampaikan bahwa aturan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2020 tentang Pilkada sehingga PKPU akan mengikuti aturan tersebut.
“Bentuk-bentuk kampanye juga sudah diatur di situ, tentu KPU tidak bisa mengubah dan meniadakannya,” ujar Dewa dalam webinar yang digelar KPU, Selasa (15/9), dikutip dari CNN.
Dalam merespon situasi krisis, pemimpin seharusnya menganalisis keadaan, dipikirkan masak-masak baru memutuskan, setelahnya baru bertindak. Rasanya tidak etis jika memaksakan Pilkada Serentak tetap dilaksanakan apalagi dengan membiarkan konser musik. Tentu saja, Pilkada menjadi wajah demokrasi di negeri ini. Selain itu juga meregenerasi pemimpin di daerah, tentu dengan harapan akan menjadi daerah-daerah yang lebih baik ke depan. Namun apakah harus tetap dilakukan di saat belum adanya kepastian bagi warganegara yang mengikuti pesta demokrasi akan terlindung dari virus?
Anggaran yang dibutuhkan pun tidaklah sedikit. Menurut catatan KPU, usulan anggaran telah mencapai angka Rp10,9 T untuk 252 daerah di Indonesia. Ironi yang dihadapi jika memang pemerintah tetap memaksakan Pilkada ini harus tetap jalan ialah kita seperti menari di atas penderitaan orang lain. Mereka yang mengikuti protokol kesehatan 3M demi melindungi orang lain, tenaga medis yang juga kehilangan teman sejawat, para petugas makam yang tiada hari tanpa menggali kubur bagi korban COVID-19, dan orang-orang yang ditimpa kemalangan saat pandemi ini berlangsung. Haruskah?
Belum lagi Kamis lalu, (10/9), Arief Budiman mengonfirmasi jumlah bakal pasangan calon yang terpapar COVID-19 terus bertambah menjadi 60 orang. Juga, ada satu calon pemilihan walikota yang sempat mengikuti arak-arak massa saat mendaftar ke KPU ternyata hasil swab dinyatakan positif.
Tiba-tiba teringat kalimat dalam sebuah film, “Kemalangan yang dialami oleh orang lain bisa menjadi keuntungan bagi yang lain,”. Kalimat tersebut memang sadis. Namun dalam kondisi saat ini, bukan tidak mungkin hal itu bisa saja terjadi apalagi sebenarnya Pilkada dapat ditunda. Sistem pemilu di Indonesia pun belum seperti di negeri Paman Sam yang sudah memanfaatkan teknologi dalam proses pemilihannya. Artinya, bagi masyarakat yang ingin ikut berpartisipasi dalam Pilkada, mereka harus datang langsung ke TPS masing-masing.
Dalam membuat keputusan di tengah situasi yang tidak pasti tentang waktu pandemi akan berakhir seharusnya akan jauh lebih baik jika dilakukan dengan terus mengumpulkan informasi, mengantisipasi hal buruk yang akan terjadi, baru bertindak. Namun yang terjadi ialah memaksakan kehendak yang tidak perlu. Saat ini, waktu yang tepat bagi kita semua untuk lebih banyak merenung akan tindakan yang dilakukan ke depan agar tidak menimbulkan krisis berlanjut apalagi sudah ada ribuan jiwa yang meninggal akibat virus ini.
Apakah Pilkada serentak menjadi situasi yang wajib dilakukan untuk saat seperti ini? Ataukah dana Pilkada tersebut lebih baik ditambahkan ke anggaran kesehatan yang sebelumnya dipangkas dari Rp87,55 T menjadi Rp72,73 T untuk realokasi pemulihan ekonomi negara? Sekali lagi, ini akan menjadi pilihan pemerintah selaku pengambil kebijakan. []