
Bisa melihat terjemahan rap “Ciputat, Ciledug, Ciputat, Ciledug” karya Deaz Putri, begitu pun rap di film Project Power yang diterjemahkan oleh Rizky Soraya sesuai rima, begitu menyenangkan rasanya. Saya pun senang menonton Crash Landing on You yang diterjemahkan Fajri Mulyadi secara rapi dan kiwari. Saya bisa menebak bahwa penerjemah-penerjemah ini benar-benar andal dan berpengalaman.
Penerjemah memegang peranan vital dalam dunia hiburan, membantu para sineas luar negeri mengomunikasikan visi mereka, menyampaikan pesan inspirasi, dan tentu membuat penonton terhibur. Penerjemah pula menjadi salah satu dari garda terdepan cross-cultural learningdalam budaya pop, peran ini bukanlah remeh. Penerjemah bukan pendukung teknis biasa.

Anggapan bahwa subtitle bahasa Indonesia itu jelek masih mengakar dalam pemahaman penonton film di Indonesia. Berdasarkan pengalaman, mereka yang menilai subtitle bahasa Indonesia jelek akan lebih memilih mematikan subtitle atau memakai subtitle bahasa Inggris. Alih-alih membantu, bahasa Indonesia malah dianggap mengganggu keleluasaan kala menonton. Stereotipe ini memang masih sebatas postulat populer, tetapi jika kita runut satu per satu: tidak hanya kualitas subtitle Lebah Ganteng, Pein Akatsuki, dan penerjemah fansub lain misalnya, bahkan kanal-kanal TV kabel, kanal-kanal TV terestrial, platform OTT seperti Catchplay+, IFlix, WeTV, MolaTV, VIU, hingga yang reputasinya sudah mapan seperti HBO GO, Disney+, dan Netflix pun terdapat kualitas subtitle bahasa Indonesia yang tidak merata. Lantas, apa yang menyebabkan kualitas penerjemahan kita serendah ini?
Bertangkap Lepas dengan Upah
Sebelumnya saya sempat menyinggung penghidupan penerjemah subtitle di awal-awal tulisan, kini saya hendak mengaitkannya pula dengan nasib pribadi: sejak 2015 sampai sekarang, saya masih kelimpungan membayar tagihan, membayar cicilan, motor tak pernah ganti, bahkan dilanda kecemasan tidak bisa membayar kontrakan periode selanjutnya.
Kisah saya, mungkin dirasakan sebagian pekerja lepas di luar sana. Di industri subtitle, bahkan sejak 10 sampai belasan tahun yang lalu, nasib penerjemah lepas seperti kami bak jalan di tempat.
Industri mengharuskan kami untuk menerima tarif yang rendah. Nasib penerjemah lepas yang berpengalaman—dan berkualitas—disetarakan dengan penerjemah lepas baru. Proyek film disediakan bak lelang. Kecuali Anda dekat dengan editor ataupun orang dalam agensi, mustahil Anda akan mendapat proyek dengan adil.
Tanpa diberi ruang untuk berpendapat, seiring waktu, tarif penerjemahan “diturunkan” oleh industri, setelah sempat naik di medio 2018-2019. Bisa dibilang sejak 2015, kami (atau lebih tepatnya, saya) menerima tarif yang tidak jauh beda. Hal ini tergolong aneh karena setiap tahun, dunia dan Indonesia terus-menerus mengalami inflasi. Harga barang dan jasa terus mengalami kenaikan, harga sewa pun serupa. Lebih-lebih penerjemah dari kelas menengah totok seperti saya yang hanya mampu mengontrak rumah dan menyicil motor, daya beli kami tidaklah jauh berbeda dari lima tahun yang lalu jika kami hanya bergantung pada profesi ini. Belum lagi, industri yang menginginkan kami menerjemahkan dengan sempurna, menuntut semakin cepat, dan tentu, dengan upah yang tidak seberapa. Hanya berkisar $0,5 sampai $2 saja per menit.