Data tahun 2021 merupakan APBN 2021 yang telah ditetapkan sebagai undang-undang, dan sedang dilaksanakan. Data tahun 2022-2025 merupakan proyeksi atau prakiraan Pemerintah. Prakiraan ini sebenarnya merupakan penjelasan, sekaligus meminta persetujuan dari DPR untuk menjadi dasar penyusunan RAPBN 2022.
Data tahun 2022-2025 disajikan berupa rentang (range), batas bawah dan batas atas. Misalnya tentang defisit pada tahun 2022 tercatat batas bawah sebesar 4,51% dan batas atas sebesar 4,85% dari PDB. Sedangkan PDB nominal sendiri berupa batas bawah sebesar Rp17.913 triliun, dan batas atas sebesar Rp18.153 triliun.
Untuk keperluan analisis, dapat diambil titik tengah dari masing-masing target atau proyeksi tahun 2022-2025. Contoh tahun 2022 tadi berarti defisit sebesar 4,68%, dan PDB nominal sebesar Rp18.033 triliun. Meski nominal defisit tidak dicantumkan pada tabel maupun narasi dokumen, dapat dihitung berdasar informasi ini. Kisaran dalam target adalah sebesar Rp808 triliun hingga Rp880 triliun. Titik tengahnya sebesar Rp844 triliun.
Dengan cara serupa, bisa dicermati titik tengah dari proyeksi nilai Keseimbangan Primer. Nilainya masih negatif atau defisit sampai dengan tahun 2025. Yaitu sebesar: Rp447,22 triliun (2022), Rp104,06 triliun (2023), Rp102,25 triliun (2024), dan Rp92,59 triliun (2025).
Dari uraian di atas, APBN memang sudah lama “gali lubang tutup lubang” dalam soalan utang. Sejak realisasi APBN alami defisit, yang berarti pendapatan lebih kecil dari belanja. Untuk belanja tidak mencukupi, bagaimana mungkin pendapatan dipakai melunasi atau membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo. Hanya bisa dilakukan dengan berutang lagi.
Fenomena itu terkonfirmasi pula dari posisi utang yang terus bertambah tiap tahun. Jika sebagian saja dari utang dapat dibayar dengan pendapatan, maka posisi utang akan berkurang.
Sejak tahun 2012, bukan hanya pelunasan utang lama dengan utang baru. Melainkan pembayaran bunga utang pun dengan utang baru. Pandemi covid-19 membuat kondisinya menjadi makin buruk. Berdasar prakirakan Pemerintah sendiri, kondisi ini belum sepenuhnya membaik hingga tahun 2025.
Kajian ilmiah tentang utang menjelaskan bahwa kondisi keseimbangan primer anggaran pemerintahan suatu negara, terutama negara berkembang, amat menentukan kesinambungan fiskalnya. Dikatakan kesinambungan fiskal dapat dipertahankan melalui pemenuhan pembayaran bunga utang dengan pendapatan negara dan bukan pengadaan atau penerbitan utang baru.
Pandangan lain yang lebih hati-hati bahkan menyebut tidak cukup hanya sekadar surplus, melainkan nilai surplusnya harus meningkat. Peningkatan itu setidaknya dapat mempertahan surplus dengan rasio yang setidaknya tetap (finite) atas PDB. Oleh karena nilai PDB meningkat tiap tahun, maka surplus keseimbangan primer juga harus bertambah.
Hal ini tampaknya cukup disadari oleh Pemerintah. Terbukti dari target APBN beserta narasi argumennya dalam Nota Keuangan, yang menargetkan KP menjadi surplus, setidak hanya sedikit defisit atau nilai negatif yang kecil.
Komitmen senada disampaikan dalam narasi RPJMN 2020-2024. Dikatakan bahwa Pemerintah akan menjaga kesinambungan fiskal dengan APBN yang sehat, seraya tetap memberikan stimulus terhadap perekonomian. Salah satunya ialah mengarahkan keseimbangan primer menuju positif dengan rata-rata 0,1%-0,3% dari PDB selama periode lima tahun ke depan.
Padahal yang terjadi saat ini dan beberapa tahun ke depan antara lain pembayaran bunga utang akan makin membebani. Sedangkan perekonomian masih butuh waktu untuk pemulihan. Ketika Pendapatan Negara masih akan terkendala, pemerintah justru diharapkan terus memberi stimulus melalui belanjanya.